ARTIKEL NARKOBA TAHUN 2019
EKSISTENSI BUDAYA LOKAL TALLU – SI DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI
SMAN 9 PANGKEP
By. Ukha_1217
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah
adalah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mencetak generasi emas berakhlak
mulia, berkarakter, dan berprestasi sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demogratis serta bertanggungjawab”.
Hal
ini merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai guru pertama dan utama
di rumah dan guru sebagai orang tua kedua di sekolah. Penanaman pendidikan
karakter adalah hal utama yang perlu diimplementasikan guru
di sekolah melalui proses pembelajaran di kelas, budaya sekolah melalui
kegiatan keseharian di lingkungan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler seperti
pramuka, PMR, KIR, dan penerapan kebiasaan sehari-hari di rumah.
Dalam
pelaksanaan pendidikan karakter bersumber dari Pedoman Pengembangan dan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun oleh Pusat Kurikulum tahun
2010 dimana memuat 18 nilai pembentuk karakter yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu : (1) Religius, (2)
Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri,
(8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahun, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta
Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta
Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18)
Tanggung Jawab.
Disamping
18 nilai karakter di atas, guru dapat memperkuat pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah melalui implementasi nilai-nilai budaya lokal yang ada di
daerah masing-masing, seperti halnya di daerah Sulawesi Selatan, guru dapat
menerapkan budaya lokal yang berkarakter yaitu Tallu-Si yang berarti Sipakatau,
Sipakainge dan Sipakalebbi. Dalam
Bahasa Indonesia Tallu berarti tiga
sedangkan Si adalah awalan dari kata Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi.
Penerapan
nilai-nilai budaya lokal bermula dari lingkungan keluarga. Orang tua seharusnya
menanamkan pendidikan agama dan pendidikan karakter, dan nilai-nilai budaya
lokal sejak kecil karena keluarga adalah organisasi sosial pertama bagi seorang
anak, hidupnya interaksi dalam keluarga membuat anak belajar bersosialisasi,
berhubungan dengan dunia luar, yang nantinya akan dibawa keluar ke organisasi
yang lebih besar, yaitu sekolah dan masyarakat.
Hal
ini sesuai dengan pengertian pendidikan menurut bapak Ki Hajar Dewantara (Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia) yaitu pendidikan adalah tuntutan didalam hidup
tumbuhnya anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingi-tingginya.
Sedangkan
guru adalah kompas bagi penentuan arah karakter siswa di sekolah. Guru
mendidik, mengarahkan, mengajarkan nilai-nilai karakter melalui budaya lokal
dengan mengaplikasikannya dalam pembelajaran dan budaya sekolah (pembiasaan)
sehingga siswa mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Mengapa
nilai-nilai budaya lokal sangat dibutuhkan oleh generasi Emas Indonesia saat
ini ? Kemajuan globalisasi mempengaruhi semua sektor termasuk pendidikan dan
budaya yang berdampak positif dan negatif. Dampak negatif salah satunya adalah
peredaran gelap narkotika yang terus meningkat. Badan Narkotika Nasional (BNN)
mencatat jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia mencapai 3,5 juta jiwa
pada Tahun 2017. Hampir satu (1) juta jiwa diantaranya bahkan telah menjadi
pecandu (Liputan6.com, Jakarta).
Disisi
lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh (Asni M, Rahma & Mukhse Sarake,
2013) di Sekolah Menengah Atas Kartika Wirabuana XX-1 Makassar menunjukkan
hasil bahwa persepsi keharmonisan dalam keluargalah yang menjadi faktor utama
mengapa para siswa remaja menjadikan narkotika sebagai pelarian. Saya pribadi
pernah mengajar di sekolah ini selama kurang lebih 4 tahun bahkan diberikan
tanggung jawab sebagai wali kelas.
Berdasarkan
pengalaman mengajar di SMA Kartika Wirabuana XX-1 Makassar, permasalahan yang
paling besar bagi siswa adalah broken home, perceraian orang tua mengikis
kebahagiaan anak, kurang menghargai anak, kurang dalam memberikan perhatian
sehingga tanggung jawab dalam memenuhi pendidikan agama, pendidikan karakter,
dan budaya sangat minim. Akibatnya anak lebih menghargai dunia luar, emosi
remaja tidak terkontrol, kurang peduli terhadap lingkungan sosial, tidak
mengenal nilai-nilai budaya lokal sehingga terjadi krisis moral anak bangsa.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang sesuai dengan
latar belakang adalah :
1).
Bagaimanakah implementasi metode kegiatan budaya lokal Tallu-Si dalam
mencegah
penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP ?
2). Apakah
faktor positif budaya lokal Tallu-Si
dapat mempengaruhi siswa
dalam mencegah penyalahgunaan narkotika di
SMAN 9 PANGKEP ?
C. Tujuan
Tujuan penulisan artikel ini adalah :
1).
Untuk mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan metode
kegiatan budaya lokal Tallu-Si dalam mencegah penyalahgunaan narkotika
di SMAN 9 PANGKEP.
2). Untuk
mengetahui apakah faktor positif budaya lokal Tallu – Si dapat
mempengaruhi siswa dalam mencegah penyalahgunaan
narkotika di SMAN
9 PANGKEP.
D. Manfaat
Manfaat penulisan artikel ini adalah sebagai
berikut :
1). Bagi siswa, guru dan sekolah, sebagai bahan pembelajaran di kelas
untuk
lebih mengenal bahaya
narkotika dan mencegahnya melalui penerapan
budaya lokal.
2). Bagi siswa, untuk lebih mencintai budaya Indonesia utamanya nilai-nilai
budaya lokal dalam era
teknologi digital.
3). Bagi masyarakat, sebagai pedoman dalam mempelajari pendidikan
karakter, menghargai budaya
Indonesia, menerapkan budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk
sikap saling menghargai (sipakatau),
saling mengingatkan (sipakainge), dan
saling menghormati (sipakalebbi).
4). Bagi peneliti, sebagai bahan penelitian selanjutnya tentang budaya
dan
fenomena sosial utamanya
yang menyangkut kegiatan pencegahan narkotika di kalangan remaja.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. TEORI YANG MENDASARI
1. Kebudayaan
Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara multikultur terbesar di dunia
karena memiliki keragaman budaya yang sangat tinggi. Pusat Statistik Nasional
tercatat tidak kurang dari 1.128 suku bangsa bermukim di negara Indonesia.
Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda sehingga
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya.
Kebudayaan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tata
kehidupan manusia di permukaan bumi. Wujud kebudayaan tercermin dari berbagai
aspek seperti perilaku, adat istiadat, bentuk fisik rumah, upacara adat,
alat-alat rumah tangga, dan lainnya.
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang berarti
mengolah atau yang mengerjakan sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan,
sistem ide, atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, dalam kehidupan
sehari-hari, yang sifatnya abstrak.
Menurut Koentjaraningrat (1985), kerangka
kebudayaan adalah dimensi analisis konsep kebudayaan yang dikombinasikan ke
dalam suatu bagan lingkaran untuk menunjukkan bahwa kebudayaan bersifat
dinamis. Kerangka kebudayaan ini digambarkan sebagai berikut :
Gambar
1. Kerangka Budaya
Dari gambar di atas, lingkaran paling dalam adalah Sistem Budaya,
lingkaran kedua adalah Sistem Sosial sedangkan lingkaran paling luar adalah
Kebudayaan Fisik. Setiap lingkaran dapat dibagi menjadi tujuh (7) unsur
kebudayaan universal (berdasarkan konsep Malinowski), yaitu : (1) Kesenian, (2)
Religi, (3) Sistem Pengetahuan, (4) Organisasi Sosial, (5) Sistem Ekonomi, (6)
Sistem Teknologi, (7) Bahasa.
2. Budaya Lokal Tallu- Si
Keanekaragaman budaya di
Indonesia melahirkan berbagai kearifan lokal bagi tiap daerah. Keanekaragaman
budaya merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya
tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi
pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan.
Seiring dengan
peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta
pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat
adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Oleh karena itu
tugas dan tanggung jawab setiap individu untuk menjaga dan melestarikan budaya
lokal masing-masing daerah.
Seperti halnya budaya
lokal Tallu-Si yaitu Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi merupakan salah satu budaya
yang ada di suku bugis Sulawesi Selatan yang sangat memanusiakan manusia.
Budaya Sipakatau dapat diartikan sebagai memanusiakan manusia. Sipakatau merupakan salah satu pesan
orang-orang terdahulu di suku Bugis-Makassar yang perlu dijadikan pegangan
hidup. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah kitab yang menyatakan bahwa upasekko makkatenning ri limae
akkatenningeng; mammulanna, ri ada tongeng’e; maduanna, ri lempu’e; matellunna,
ri getteng’e; maeppana, sipakatau’e; malimanna, mappesona’e ri Dewae Seuwae.
Artinya yaitu saya
pesankan kamu pada kelima pegangan : pertama, pada kata benar; kedua, pada kejujuran;
ketiga, pada keteguhan hati; keempat pada saling menghargai atau saling
memanusiakan; kelima, berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Mallombasi,
2012 : 167 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017 : 33).
Budaya ini menghendaki
setiap individu memperlakukan siapapun sebagai manusia seutuhnya. Konsep ini
memandang manusia dengan segala penghargaannya tanpa memandang kondisi sosial
ataupun fisiknya. Nilai-nilai sipakatau menunjukkan
bahwa budaya Bugis-Makassar memposisi-kan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik.
Semangat ini mendorong
tumbuhnya sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang
harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan inter-subyektifitas dan saling
menghargai sebagai sesama manusia. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi
landasan utama dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama manusia
serta rasa saling menghormati terhadap keberadaan dan jati diri bagi setiap
anggota kelompok masyarakat (Syarif, dkk, 2016 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017
: 34).
Budaya Sipakainge hadir sebagai penuntun bagi masyarakat bugis
untuk saling mengingatkan satu sama lain. Selain itu, sipakainge, ini diperlukan dalam kehidupan untuk memberikan masukan
baik berupa kritik dan saran satu sama lain. Mengingat manusia tidak terlepas
dari kekhilafan dan dosa sehingga
sebagai manusia yang hidup dalam struktur masyarakat diharapkan saling
mengingatkan ketika melakukan tindakan yang di luar norma dan etika yang ada.
Terkhusus bagi remaja
millenial saat ini, perlu diberikan orientasi tentang penyalahgunaan narkotika.
Pemerintah Daerah perlu bekerja sama dengan BNNP, Kepolisian dan Sekolah untuk
menanggulangi peredaran narkotika yang kian meningkat melalui pencegahan,
rehabilitasi, dan pemberantasan narkotika. Inilah cerminan budaya sipakainge untuk saling mengingatkan.
Pentingnya budaya sipakainge bagi masyarakat Bugis tertuang dalam salah
satu pappasenna to riolo e artinya
pesan orang terdahulu mengenai penyebab kehancuran suatu negeri.
Pesan tersebut
menyatakan bahwa maduanna, mabbicara
tenriamparanni Arung Mangkau’e, yang artinya kedua, jika Raja yang bertahta
sudah tidak mau lagi diingatkan maka tunggulah kehancuran pada suatu negeri.
Budaya sipakalebbi identik dengan puji-pujian, yang berarti
sesama manusia senantiasa saling memuji satu sama lain dan saling menghargai
demi menjaga keharmonisan kehidupan sehari-hari. Mengakui kelebihan orang lain
serta kekurangan diri sendiri, dan menerima semua keadaan itu dengan hati yang
terbuka serta saling menutupi kekurangan masing-masing atau saling bahu membahu
dalam segala kegiatan merupakan bentuk penghargaan terhadap satu sama lain
(Razak, 2015 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017 : 36).
Sipakalebbi dapat menuntun siswa dalam mengapresiasi diri
untuk berkarya dan berinovasi melalui kegiatan di sekolah dan luar sekolah yang
berdampak positif seperti lomba dalam bidang keagamaan, lomba dalam bidang
literasi, dan lomba dalam bidang olahraga. Sekolah wajib memberikan apresiasi
melalui dukungan dan reward terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa.
3. Narkotika
a. Latar
Belakang dan Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini merupakan ancaman yang serius bukan
saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya tetapi juga sangat
membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Badan Narkotika
Nasional dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang mencapai tingkat yang
sangat memprihatinkan. Kejahatan narkotika bukanlah lagi dipandang sebagai
kejahatan biasa melainkan sudah merupakan sebuah kejahatan luar biasa.
Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan
obat-obatan terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk
menyempurnakan peraturan atau regulasi tentang narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berperan
melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta
memberantas peredaran gelap narkotika.
b. Pengertian dan Penggolongan Narkotika
Narkotika
adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakannya dengan cara memasukkan obat tersebut ke dalam tubuhnya, pengaruh
tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit rangsangan, semangat dan
halusinasi. Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang menyebabkan kelompok
masyarakat terutama dikalangan remaja ingin menggunakan narkotika meskipun
tidak menderita apa-apa. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya
penyalahgunaan narkotika (obat). Bahayanya bila menggunakan narkotika bila
tidak sesuai dengan peraturan adalah adanya adiksi/ketergantungan obat
(ketagihan).
Narkotika
merupakan salah satu masalah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah
karena masalah narkotika sudah merupakan masalah yang berat di Indonesia.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dijelaskan ada tiga (3) golongan
narkotika, yaitu : 1) Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2) Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat
untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
dalam terapi, dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3) Golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
c. Faktor Penyebab Remaja Menggunakan Narkotika
Menurut
Dang Hawari (2005 : 57 dalam Akmal Hawi : 105) faktor penyebab remaja
menggunakan narkotika adalah faktor lingkungan yang tidak berperan dengan baik,
meliputi lingkungan keluarga yang tidak sehat, kondisi sekolah yang tidak
baik, dan kondisi masyarakat lingkungan sosial yang rawan :
a. Lingkungan Keluarga, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi setiap remaja, sejak ia lahir sampai dengan
datangnya masa ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri.
Sebagai lingkungan primer, hubungan manusia yang paling intensif dan paling
awal terjadi adalah di lingkungan keluarga.
a. Lingkungan Keluarga, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi setiap remaja, sejak ia lahir sampai dengan
datangnya masa ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri.
Sebagai lingkungan primer, hubungan manusia yang paling intensif dan paling
awal terjadi adalah di lingkungan keluarga.
Fungsi dan peran keluarga menjadi sangat
dominan dalam membangun hubungan antar anggota keluarga, terutama antara orang
tua dan remaja serta anggota keluarga lainnya. Kesalahan dan kegagalan orang
tua dalam memainkan peran sebagai tokoh sentral di lingkungan keluarga, dapat
menimbulkan ketidakharmonisan pola hubungan dalam pergaulan atau anggota
keluarga, sehingga berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku negatif dalam
diri remaja, seperti pemakaian narkotika.
b. Lingkungan
Sekolah, adalah lembaga lingkungan pendidikan yang sekunder. Sekolah memiliki
andil yang cukup besar dalam pembentukan jiwa dan perilaku remaja setelah
keluarga. Sekolah diharapkan dapat menjadi tempat membina para remaja, dengan
memberikan norma-norma dan nilai-nilai yang diharapkan oleh keluarga dan
masyarakat. Namun dalam kenyataannya, banyak fungsi sekolah yang tidak
dilaksanakan, terutama peran guru dalam memberikan proses belajar mengajar yang
dianggap belum memuaskan apa yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat.
c. Lingkungan Masyarakat,
merupakan lingkungan ketiga yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak
menawarkan pilihan dalam berkegiatan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi
dan komunikasi. Pengaruh dan penyebaran budaya dari satu wilayah ke wilayah
lain menjadi sangat cepat dan diikuti oleh banyak orang contohnya saja seperti
sekarang dunia remaja disibukkan dengan game online. Masyarakat dalam kondisi
seperti ini sangat mempengaruhi perilaku remaja.
Jadi yang perlu diperhatikan oleh
pemerintah adalah lingkungan masyarakatnya. Jika lingkungan masyarakat sehat
dan beradab dapat mempengaruhi perilaku positif dikalangan remaja. Begitupula
dengan lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat, akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan remaja. Sebab kehidupan
keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Contohnya
kegiatan remaja masjid.
B. LAPORAN YANG RELEVAN
1 1. Penelitian
dari Nur Maida, (2016). “Pengasuhan Anak Dan Budaya 3S
(Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi) Di Perkotaan”. Penelitian
ini bertujuan
untuk mengetahui dampak globalisasi yang sangat berpengaruh khususnya kepada
anak-anak, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif globalisasi
yaitu perkembangan teknologi yang semakin modern dan canggih sehingga
mempermudah seseorang untuk memperoleh informasi yang tidak terbatas yang
dapat mengubah nilai dan pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap
anaknya dan pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak.
(Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi) Di Perkotaan”.
untuk mengetahui dampak globalisasi yang sangat berpengaruh khususnya kepada
anak-anak, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif globalisasi
yaitu perkembangan teknologi yang semakin modern dan canggih sehingga
mempermudah seseorang untuk memperoleh informasi yang tidak terbatas yang
dapat mengubah nilai dan pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap
anaknya dan pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak.
Sedangkan
globalisasi yang berdampak negatif menonjolkan sifat individualistik dan
bebas. Hal itu dibuktikan dengan semakin marak, mudah dan banyak muncul
masalah, seperti penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas
dan menyimpang, kriminalitas anak dsb. Hal itu disebabkan di perkotaan sikap dan
nilai-nilai kearifan lokal yang kurang diterapkan dalam keluarga.
bebas. Hal itu dibuktikan dengan semakin marak, mudah dan banyak muncul
masalah, seperti penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas
dan menyimpang, kriminalitas anak dsb. Hal itu disebabkan di perkotaan sikap dan
nilai-nilai kearifan lokal yang kurang diterapkan dalam keluarga.
2 2. Penelitian
dari Sabrun Jamil, (2017). “Peran Keuchik
Dalam Mencegah
Penyalahagunaan Narkoba Di Kalangan Remaja”. Penelitian
ini bertujuan untuk
mengetahui peran Keuchik di gampong Labuhan Haji Barat dalam mengambil
langkah untuk mencegah penyalahgunaan narkoba pada kalangan remaja. Keuchik
memiliki tugas dalam menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam
membangun gampong, seperti membuat program yang dapat melibatkan
masyarakat, orang tua dan remaja dan bekerja sama dengan pemerintah dalam
mencegah narkoba.
Penyalahagunaan Narkoba Di Kalangan Remaja”.
mengetahui peran Keuchik di gampong Labuhan Haji Barat dalam mengambil
langkah untuk mencegah penyalahgunaan narkoba pada kalangan remaja. Keuchik
memiliki tugas dalam menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam
membangun gampong, seperti membuat program yang dapat melibatkan
masyarakat, orang tua dan remaja dan bekerja sama dengan pemerintah dalam
mencegah narkoba.
Gambar
2. Kerangka Pemikiran
2 2. Deskripsi
Kerangka Berpikir
Hubungan
manusia yang paling intensif dan paling utama adalah di lingkungan
keluarga sekaligus sebagai motivator dan perisai anak dalam berhubungan dengan
dunia luar. Perhatian keluarga akan berdampak pada psikologis anak, pembentukan
karakter/perilaku anak, serta bagaimana anak bersosialisasi dengan masyarakat.
keluarga sekaligus sebagai motivator dan perisai anak dalam berhubungan dengan
dunia luar. Perhatian keluarga akan berdampak pada psikologis anak, pembentukan
karakter/perilaku anak, serta bagaimana anak bersosialisasi dengan masyarakat.
Tidak
dapat dipungkiri kemajuan globalisasi merubah semua sektor termasuk
pendidikan dan bahkan mengikis nilai-nilai budaya lokal yang berdampak positif dan
negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah peredaran narkotika.
pendidikan dan bahkan mengikis nilai-nilai budaya lokal yang berdampak positif dan
negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah peredaran narkotika.
Untuk
mengatasi persoalan urgen di atas, maka orang tua, guru, masyarakat dan
pemerintah harus memiliki sikap tegas dan cepat dalam mencegah peredaran
narkotika. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan
memperkuat nilai-nilai budaya lokal Tallu-Si yang dapat diimplementasikan dalam
kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan untuk melestarikan nilai-
nilai budaya lokal dan memperkuat pondasi agama yang dapat mencegah
penyalahgunaan narkotika.
pemerintah harus memiliki sikap tegas dan cepat dalam mencegah peredaran
narkotika. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan
memperkuat nilai-nilai budaya lokal Tallu-Si yang dapat diimplementasikan dalam
kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan untuk melestarikan nilai-
nilai budaya lokal dan memperkuat pondasi agama yang dapat mencegah
penyalahgunaan narkotika.
D. HIPOTESIS DAN SOLUSI
1. Hipotesis
Berdasarkan kajian terhadap beragam referensi, maka dapat ditarik hipotesis
sebagai berikut : “Eksistensi Budaya Lokal Tallu-Si
(Sipakatau, Sipakainge
dan Sipakalebbi) dapat mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP
dengan memperkuat pondasi agama dan nilai-nilai budaya lokal”.
Berdasarkan kajian terhadap beragam referensi, maka dapat ditarik hipotesis
sebagai berikut :
dan Sipakalebbi) dapat mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP
dengan memperkuat pondasi agama dan nilai-nilai budaya lokal”.
2. Solusi
Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas, yang menjadi
permasalahan utama dalam
penyalahgunaan narkotika adalah kurangnya kepedulian keluarga terhadap nilai-
nilai agama dan budaya lokal dalam pembentukan karakter anak sejak kecil
sehingga anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat tanpa adanya pondasi agama dan nilai-nilai budaya yang kuat. Maka
solusinya adalah mengimplementasikan nilai-nilai agama dan budaya lokal Tallu-Si
melalui kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan dapat mencegah
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja atau siswa saat ini terutama di
SMAN 9 PANGKEP.
penyalahgunaan narkotika adalah kurangnya kepedulian keluarga terhadap nilai-
nilai agama dan budaya lokal dalam pembentukan karakter anak sejak kecil
sehingga anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat tanpa adanya pondasi agama dan nilai-nilai budaya yang kuat. Maka
solusinya adalah mengimplementasikan nilai-nilai agama dan budaya lokal Tallu-Si
melalui kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan dapat mencegah
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja atau siswa saat ini terutama di
SMAN 9 PANGKEP.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Implementasi Metode Kegiatan Budaya Lokal Tallu-Si Dalam Mencegah
Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan Narkotika
1. Pengenalan Budaya Lokal Tallu-Si
Ditinjau dari asal katanya, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa
yang berarti mengolah atau mengerjakan sehingga mempengaruhi tingkat
pengetahuan, sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, dalam
kehidupan sehari-hari yang sifatnya abstrak.
Sedangkan perwujudan lain dari kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (PDSPK, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2016).
Salah satu hasil cipta, karsa, dan rasa mausia adalah budaya lokal
yang dapat menuntun manusia dalam berperilaku positif dalam kehidupan sehari-hari.
Yang memiliki nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan masyarakat yang diyakini
kebenarannya dan menjadi pedoman hidup masyarakat utamanya generasi digital native yang dipengaruhi oleh
teknologi digital yang telah mengikis budaya lokal.
Hal inilah yang mendasari penulis sekaligus sebagai guru yang memiliki
tanggung jawab untuk mengenalkan dan mengimplementasikan budaya lokal kepada
siswa dalam lingkungan sekolah. Penulis menyadari dengan melihat tingkah laku
siswa sehari-hari di sekolah seperti : (1) merokok, (2) bolos sekolah, (3)
kurang menghargai dan menghormati guru dan teman sebayanya, (4) kurangnya
motivasi belajar/malas (5) siswa kurang kreatif dan inovatif dalam mengerjakan
tugas, (6) tidak percaya diri/tidak optimis, (7) kurang peduli terhadap sesama
teman/tidak memiliki etos kerja, (8) kompetisi yang tidak sehat.
Merokok merupakan bagian dari narkotika secara tidak langsung. Ketika
siswa sudah akrab dengan rokok maka sangat mudah untuk mengenal benda-benda
terlarang lainnya didukung dengan kurangnya kepedulian keluarga terhadap
perkembangan karakter anak sehingga memberi kesempatan untuk bersosialisasi
dengan lingkungan yang tidak sehat.
Salah satu budaya lokal yang dapat membantu siswa mengenal norma-norma
dan nilai-nilai budaya sekaligus menjadi pedoman berperilaku dalam masyarakat
adalah budaya lokal Tallu-Si. Istilah
ini diciptakan sendiri oleh penulis dimana Tallu
dalam Bahasa Indonesia berarti tiga sedangkan Si merupakan awalan kata Sipakatau,
Sipakainge dan Sipakalebbi.
Dalam adat bugis Sulawesi Selatan (1) sipakatau berarti saling menghargai, saling menopang, saling
mengayomi, saling menuntun, saling membagi, saling memberi, dimana dalam
lingkup sekolah dapat diimplementasikan melalui sikap menghargai pemberian
Allah SWT berupa akal dan pikiran sehingga mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, saling menghargai antara guru dengan semua stakeholder, antara guru dengan siswa,
dan antara siswa dengan temannya.
Dalam proses pembelajaran, guru dapat mengimplementasikan sipakatau kepada siswa untuk menghargai
pemberian Allah SWT dengan menghargai dirinya sendiri melalui tindakan seperti
tidak merokok yang dapat merusak kesehatan dan menghabiskan biaya orang tua,
menggunakan akal dan pikiran untuk mengerjakan tugas yang kreatif, tidak
menyontek, tidak bolos sekolah karena bolos memberi peluang untuk menciptakan
lingkungan baru dengan orang luar yang bisa menimbulkan hal negatif seperti
pengenalan narkotika.
Menghargai seluruh jasmani dan rohani yang telah diciptakan untuknya sebagai
makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk lainnya berupa kegiatan yang positif
seperti hidup sehat dengan menghindari rokok, narkotika dan obat-obat
terlarang, mengikuti berbagai lomba baik di sekolah maupun di luar sekolah,
menjadi tim olahraga yang disukai di sekolah, mengikuti kegiatan Pramuka, PMR,
Siswa Pencinta Alam.
Dimana ekskul ini memberikan aktualisasi nyata kehidupan bersosial
yang baik, membentuk karakter siswa yang pemberani, kreatif dan bertanggung
jawab. Sehingga budaya sipakatau yaitu
saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling
membagi, dan saling memberi dapat tercipta di lingkungan sekolah.
Sipakainge berarti saling mengingatkan. Sebagai pendidik,
guru wajib mengingatkan siswa disetiap awal pembelajaran akan norma-norma
agama, adat istiadat, nilai-nilai budaya, utamanya sikap dan toleransi dalam
bergaul dan berbagai nilai karakter dimana hal ini akan bermuara pada etika
siswa dalam berbahasa, bersikap dan bertindak baik dalam lingkungan sekolah, keluarga
maupun di lingkungan masyarakat.
Berkaitan dengan implementasi budaya sipakainge di sekolah, dapat dilakukan melalui pembiasaan atau
diterapkan dalam aturan sekolah seperti shalat dhuha sebelum pelajaran dimulai,
literasi agama seperti berdoa atau membaca surah-surah pendek 15 menit sebelum
pelajaran dimulai, dan literasi baca tulis. Setiap siswa wajib memiliki satu
(1) buku non mata pelajaran seperti buku tentang
budaya lokal Sulawesi Selatan, buku sejarah suku bugis dsb.
Sipakalebbi
berarti saling menghormati. Defenisi menghormati dalam lingkup sekolah bukan
berarti harus takut kepada guru, tapi sangat penting diterapkan kepada siswa
bahwa dalam tata krama “yang muda menghormati yang tua sedangkan yang tua
menyayangi yang muda”. Rasa hormat terhadap sesama akan melahirkan motivasi
menjadi orang yang lebih baik, dan memiliki banyak teman dalam lingkungan yang
positif, sehingga siswa dapat menghindari berkenalan dengan pemakai narkotika
dan obat-obat terlarang lainnya.
Ketiga nilai-nilai budaya lokal ini wajib dimiliki oleh setiap manusia
terkhususnya oleh guru dan siswa di SMAN 9 PANGKEP yang merupakan tokoh utama
dalam pembelajaran di sekolah. Guru wajib menanamkan budaya Tallu – Si dalam pembelajaran dan budaya
sekolah untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang berakhlak mulia, beretika
dan berbudaya untuk menjadi benteng dan dalam menjauhi penyalahgunaan
narkotika.
2. Mengawali Pembelajaran Dengan Literasi Agama
dan Literasi Baca Tulis
Nilai-nilai budaya lokal sipakatau,
sipakainge dan sipakalebbi dapat
juga di implementasikan melalui budaya sekolah. Kegiatan dapat berupa mengawali
kegiatan pembelajaran dengan literasi agama berupa shalat dhuha kemudian di
dalam kelas membaca surah-surah pendek 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Kegiatan
literasi agama dapat diganti dengan literasi baca tulis. Siswa wajib memiliki
satu (1) buku non mata pelajaran, buku ini dapat berupa budaya suku bugis,
sejarah suku bugis dan buku fiksi lainnya yang bermanfaat bagi siswa.
Di SMAN 9 PANGKEP kegiatan shalat dhuha sudah dilaksnaakan sejak lama
begitu pula dengan kegiatan literasi lainnya. Bagi penulis sendiri walaupun
background penulis adalah guru geografi tapi sejak dulu membiasakan siswa
memiliki satu (1) buku non mata pelajaran yang dibaca 15 menit setiap mengawali
pelajaran. Siswa yang paling banyak menamatkan buku bacaannya akan mendapatkan
reward dari guru.
Gambar
3. Kegiatan Literasi Di Kelas
Kegiatan ini mampu mengubah mindset siswa yang dulunya malas membaca,
sekarang mampu membiasakan diri membaca buku. Penulis menyadari bahwa literasi
baca tulis masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut data UNESCO, negara
Indonesia tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia
hanyalah 0,001 yang berarti dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau
membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti diantara 250 juta
penduuduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya ,minat baca. Hal ini sangat
berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai
88,1 juta pada tahun 2014 (www.femina.co.id/trendingtopic).
Kegiatan shalat dhuha, shalat lima waktu dan kegiatan literasi baca
tulis dapat membentengi siswa dari penyalahgunaan narkotika dan pengaruh
negatif lainnya karena siswa memiliki pondasi agama yang kuat. Siswa yang
memiliki pondasi agama yang kuat semaksimal mungkin menghindari pengaruh negatif
yang akan merusak dirinya dan akan mencerminkan nilai-nilai budaya Tallu – Si yaitu sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi.
Setiap siswa yang terlahir memiliki kecerdasan, yang perlu diubah oleh
guru adalah mindsetnya. Siswa memiliki karakter yang berbeda dan pengaruh
lingkungan keluarga yang paling utama dapat membentuk karakter siswa apakah
lebih baik atau sebaliknya. Pengaruh lingkungan keluarga dapat membantu siswa
menghindari narkotika dan segala pengaruh negatif yang ada di lingkungan
sekolah dan masyarakat.
3. Pemutaran Video Pembelajaran Tentang Narkotika
Kecakapan pembelajaran abad 21 mengutamakan kemajuan teknologi
informasi yang telah mengubah gaya hidup manusia, baik dalam bekerja,
bersosialisasi, bermain maupun belajar. Memasuki abad 21 kemajuan teknologi
tersebut telah memasuki berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali di bidang
pendidikan. Guru dan siswa dituntut memiliki kemampuan belajar mengajar di abad
21.
Dalam kegiatan pembelajaran guru harus mampu menerapkan teknologi
salah satunya adalah video pembelajaran. Berkaitan dengan pencegahan
penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja atau siswa, guru dapat menerapkan
video pembelajaran tentang narkotika di kelas atau pada saat PPDB. Video pembelajaran
dapat diunduh di youtube yang merupakan bagian dari Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
Metode pembelajaran yang sesuai adalah diskusi, guru dapat merancang
bentuk kegiatannya apakah dalam bentuk diskusi kelompok ataupun individu. Video
pembelajaran tentang narkotika dapat merangsang siswa berpikir kritis,
meningkatkan motivasi belajar, kreatif dan bertanggung jawab. Yang semuanya
merupakan cerminan dari menghargai diri sendiri, menghargai akal dan pikiran
yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Hal ini adalah implementasi
nilai-nilai budaya sipakatau.
4. Studi Tour atau Kunjungan Ke Kantor Polisi dan
Lembaga Rehabilitasi
Pecandu Narkotika
Pecandu Narkotika
Untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dengan baik, guru perlu mengaitkan
materi dengan pengalaman siswa. Siswa juga perlu diberi kesempatan untuk bisa
memecahkan masalah, sehingga guru hanya perlu memonitoring sebagai pembimbing
dan fasilitator. Guru tidak hanya menyampaikan materi secara lisan tanpa suatu
aplikasi atau harus sesuai dengan kehidupan nyata.
Guru mengoptimalkan kemampuan berpikir siswa dan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah dalam pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran realisme
yang akan terbentuk. Dan pembelajaran realisme tidak hanya di dalam kelas akan
tetapi dapat dilaksanakan di alam bebas untuk menghindari perasaan bosan dan jenuh
siswa yang dapat mengurangi motivasi belajarnya.
Salah satu metode yang dapat diimplementasikan oleh guru adalah metode
proyek studi tour atau kunjungan. Berkaitan dengan narkotika, guru dapat
membuat proposal studi tour atau kunjungan ke kantor polisi dan lembaga
rehabiltasi penyalahgunaan narkotika. Siswa ditugaskan secara berkelompok untuk
mendapatkan data tentang penyalahgunaan narkotika.
Pembelajaran di luar kelas atau outdoor
learning meningkatkan kapasitas belajar siswa. Belajar secara mendalam
tentang objek-objek di luar kelas, belajar tentang memahami kondisi orang lain
yang terjerumus narkotika adalah bagian dari nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi dan
sipakainge yang dapat membangun keterampilan sosial siswa.
Kegiatan pembelajaran outdoor
learning dapat meningkatkan sikap saling menghormati, saling menghargai, saling
menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling membagi, dan saling memberi
serta tidak menjauhi orang lain yang terdampak penyalahgunaan narkotika akan
tetapi membantu memberikan motivasi dalam menghadapi masalah dan menanamkan
kesabaran.
B. Faktor Positif Budaya Lokal Tallu – Si Dapat Mencegah Penyalahgunaan Narkotika
Globalisasi merupakan
fenomena khusus dalam kehidupan manusia dimana teknologi informasi dan
komunikasi adalah pelaku utama yang mempengaruhi sektor ekonomi, politik,
pendidikan, sosial, dan terutama mengikis nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena
itu orang tua dan guru harus memiliki senjata kuat dalam membendung arus
globalisasi. Salah satu masalah besar dalam era globalisasi adalah penyalahgunaan
narkotika.
Senjata atau alat yang
dapat digunakan orang tua dan guru tentu harus dimulai dari implementasi
nilai-nilai budaya lokal yang memiliki dampak positif untuk menjadi pondasi
kuat dalam melawan arus globalisasi utamanya penyalahgunaan narkotika. Beberapa faktor positif
budaya lokal Tallu –Si yaitu :
(1) Memandang
manusia selayaknya manusia. Artinya dalam kehidupan sosial kita selayaknya memandang manusia
seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Pembelajaran yang dapat dipetik
bahwa dalam kehidupan sehari-hari seharusnya dalam lingkungan sekolah dan
masyarakat kita saling menghormati sesama manusia tanpa melihat miskin atau
kaya.
(2) Dapat
membentuk kecintaan terhadap budaya nusantara utamanya budaya lokal yang menjadi cerminan perilaku
atau tindakan dalam kehidupan sehari-hari;
(3) Sebagai
pembekalan diri untuk tidak meninggalkan unsur budaya yang ada di Indonesia karena pengaruh teknologi dan
informasi sangat cepat mempengaruhi semua sektor;
(4) Membentuk
kesadaran untuk mencintai sesama manusia walaupun memiliki perbedaan agama, suku dan bahasa;
(5) Menuntun
siswa untuk bertutur kata dan berperilaku yang baik, tanpa melihat background orang lain apakah orang
tersebut pelaku kriminal, penyalahgunaan narkotika, dll.
Penyalahgunaan narkotika juga lahir dari budaya, yaitu budaya atau
kebiasaan yang negatif. Melalui budaya manusia membentuk kebiasaan, sehingga
untuk membentuk budaya yang baik tentunya manusia harus membiasakan diri dengan
budaya yang positif. Untuk mencegah penyalahgunaan narkotika, budaya Tallu – Si memiliki peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari baik untuk remaja/siswa ataupun orang dewasa karena
bahaya narkotika tidak mengenal usia.
BAB IV
SIMPULAN
DAN SARAN
A. Simpulan
Keanekaragaman
budaya merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya
tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan
citra dan identitas budaya suatu daerah.
Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan
kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Budaya
Tallu – Si yaitu sipakatau, sipakainge dan
sipakalebbi adalah pedoman hidup sehari-hari bagi masyarakat suku bugis di
Sulawesi Selatan. Budaya sipakatau mengajarkan
untuk saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun,
saling membagi, saling memberi. Budaya sipakainge mengajarkan untuk saling mengingatkan dan budaya sipakalebbi
mengajarkan untuk saling menghormati sesama manusia tanpa memandang suku, agama
dan bahasa.
Implementasi
nilai-nilai budaya lokal merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai
guru pertama dan utama kepada anak sejak masih kecil. Sehingga anak tumbuh
sejalan dengan pembentukan karakter yang baik. Karakter yang baik sejak kecil
akan membentuk pribadi yang kuat, bertanggung jawab sehingga mampu menghindari
lingkungan yang negatif utamanya penyalahgunaan narkotika yang menjadi pembunuh
utama dunia remaja.
Siswa
adalah generasi muda harapan bangsa, generasi Z pengguna aktif teknologi
digital, yang mudah terpengaruh globalisasi oleh karena itu, guru sebagai
motivator, katalisator, dan fasilitator harus mampu menjadi penjaga gawang,
membantu siswa untuk mampu menyaring pengaruh negatif. Dan salah satu yang
dapat mmbantu guru dalam menyaring pengaruh negatif adalah budaya lokal Tallu-Si yaitu sipakatau, sipakainge dan
sipakalebbi.
B. Saran
Pencegahan penyalahgunaan narkotika adalah
tugas dan tanggung jawab masyarakat Indonesia yang dimulai dari lingkungan
keluarga sebagai pondasi utama yang harus kuat, kemudian lingkungan sekolah sebagai
penyaring pengaruh negatif sehingga perlu adanya kegiatan Pemerintah Daerah
untuk mengeksplore budaya lokal utamanya yang berkaitan dengan perilaku
sehari-hari.
Adanya kerjasama semua pihak yaitu Pemerintah
Daerah, Badan Penanggulangan Narkotika, Kepolisian dan Sekolah untuk mencegah
peredaran dan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja.
DAFTAR
PUSTAKA
Akmal Hawi. 2018. Remaja Pecandu Narkotika (Studi Tentang
Rehabilitasi Integratif Di Panti Rehabilitasi Narkoba Pondok Pesantren
Ar-Rahman Palembang). Jurnal.
Dokhi, Muhammad dkk.
2016. Analisis Kearifan Lokal Ditinjau
Dari Keragaman Budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan Kemendikbud.
Meutiah Rahmatullah Made. 2017. Internalisasi Budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, Dan Pammali Pada Kegiatan Operasional Perusahaan Dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Sistem Pengendalian Internal (Studi Pada PT. Hadji Kalla). Skripsi. Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar.
Nurmaida. 2016. Pengasuhan Anak Dan Budaya 3S (Sipakatau,
Sipakainge, Dan Sipkalebbi) Di Perkotaan. Skripsi. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.
Sri Suneki. 2012. Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi
Budaya Daerah. Jurnal.
Yashinta Winda
Afriatini. 2013. Upaya Badan Narkotika
Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Penanggulangan Peredaran
Gelap Narkotika Di Yogyakarta. Jurnal.
0 Response to "ARTIKEL NARKOBA TAHUN 2019"
Posting Komentar