ARTIKEL NARKOBA TAHUN 2019

EKSISTENSI BUDAYA LOKAL TALLU – SI  DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI SMAN 9 PANGKEP

By. Ukha_1217



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mencetak generasi emas berakhlak mulia, berkarakter, dan berprestasi sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demogratis serta bertanggungjawab”.
Hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai guru pertama dan utama di rumah dan guru sebagai orang tua kedua di sekolah. Penanaman pendidikan karakter adalah hal utama yang perlu diimplementasikan guru di sekolah melalui proses pembelajaran di kelas, budaya sekolah melalui kegiatan keseharian di lingkungan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, PMR, KIR, dan penerapan kebiasaan sehari-hari di rumah.
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter bersumber dari Pedoman Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun oleh Pusat Kurikulum tahun 2010 dimana memuat 18 nilai pembentuk karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu : (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahun, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab.
Disamping 18 nilai karakter di atas, guru dapat memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah melalui implementasi nilai-nilai budaya lokal yang ada di daerah masing-masing, seperti halnya di daerah Sulawesi Selatan, guru dapat menerapkan budaya lokal yang berkarakter yaitu Tallu-Si yang berarti Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi. Dalam Bahasa Indonesia Tallu berarti tiga sedangkan Si adalah awalan dari kata Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi.
Penerapan nilai-nilai budaya lokal bermula dari lingkungan keluarga. Orang tua seharusnya menanamkan pendidikan agama dan pendidikan karakter, dan nilai-nilai budaya lokal sejak kecil karena keluarga adalah organisasi sosial pertama bagi seorang anak, hidupnya interaksi dalam keluarga membuat anak belajar bersosialisasi, berhubungan dengan dunia luar, yang nantinya akan dibawa keluar ke organisasi yang lebih besar, yaitu sekolah dan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan menurut bapak Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) yaitu pendidikan adalah tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingi-tingginya.
Sedangkan guru adalah kompas bagi penentuan arah karakter siswa di sekolah. Guru mendidik, mengarahkan, mengajarkan nilai-nilai karakter melalui budaya lokal dengan mengaplikasikannya dalam pembelajaran dan budaya sekolah (pembiasaan) sehingga siswa mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.  
Mengapa nilai-nilai budaya lokal sangat dibutuhkan oleh generasi Emas Indonesia saat ini ? Kemajuan globalisasi mempengaruhi semua sektor termasuk pendidikan dan budaya yang berdampak positif dan negatif. Dampak negatif salah satunya adalah peredaran gelap narkotika yang terus meningkat. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia mencapai 3,5 juta jiwa pada Tahun 2017. Hampir satu (1) juta jiwa diantaranya bahkan telah menjadi pecandu (Liputan6.com, Jakarta).    
Disisi lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh (Asni M, Rahma & Mukhse Sarake, 2013) di Sekolah Menengah Atas Kartika Wirabuana XX-1 Makassar menunjukkan hasil bahwa persepsi keharmonisan dalam keluargalah yang menjadi faktor utama mengapa para siswa remaja menjadikan narkotika sebagai pelarian. Saya pribadi pernah mengajar di sekolah ini selama kurang lebih 4 tahun bahkan diberikan tanggung jawab sebagai wali kelas.
Berdasarkan pengalaman mengajar di SMA Kartika Wirabuana XX-1 Makassar, permasalahan yang paling besar bagi siswa adalah broken home, perceraian orang tua mengikis kebahagiaan anak, kurang menghargai anak, kurang dalam memberikan perhatian sehingga tanggung jawab dalam memenuhi pendidikan agama, pendidikan karakter, dan budaya sangat minim. Akibatnya anak lebih menghargai dunia luar, emosi remaja tidak terkontrol, kurang peduli terhadap lingkungan sosial, tidak mengenal nilai-nilai budaya lokal sehingga terjadi krisis moral anak bangsa.  
B.   Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian di atas, maka rumusan masalah yang sesuai dengan latar belakang adalah : 
1). Bagaimanakah implementasi metode kegiatan budaya lokal Tallu-Si dalam  
     mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP ?
2). Apakah faktor positif budaya lokal Tallu-Si dapat mempengaruhi siswa  
     dalam mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP ?

C. Tujuan
Tujuan penulisan artikel ini adalah :
1). Untuk mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan metode  
     kegiatan budaya lokal Tallu-Si dalam mencegah penyalahgunaan narkotika  
     di SMAN 9 PANGKEP.
2). Untuk mengetahui apakah faktor positif budaya lokal Tallu – Si dapat
     mempengaruhi siswa dalam mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN
     9 PANGKEP.

D. Manfaat
Manfaat penulisan artikel ini adalah sebagai berikut :
1). Bagi siswa, guru dan sekolah, sebagai bahan pembelajaran di kelas untuk
     lebih mengenal bahaya narkotika dan mencegahnya melalui penerapan
     budaya lokal.
2). Bagi siswa, untuk lebih mencintai budaya Indonesia utamanya nilai-nilai
     budaya lokal dalam era teknologi digital.
3). Bagi masyarakat, sebagai pedoman dalam mempelajari pendidikan
     karakter, menghargai budaya Indonesia, menerapkan budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk sikap saling menghargai (sipakatau), saling mengingatkan (sipakainge), dan saling menghormati (sipakalebbi).
4). Bagi peneliti, sebagai bahan penelitian selanjutnya tentang budaya dan
     fenomena sosial utamanya yang menyangkut kegiatan pencegahan narkotika di kalangan remaja.   

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.   TEORI YANG MENDASARI
            1. Kebudayaan Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara multikultur terbesar di dunia karena memiliki keragaman budaya yang sangat tinggi. Pusat Statistik Nasional tercatat tidak kurang dari 1.128 suku bangsa bermukim di negara Indonesia. Setiap suku bangsa memiliki adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda sehingga Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya.
Kebudayaan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tata kehidupan manusia di permukaan bumi. Wujud kebudayaan tercermin dari berbagai aspek seperti perilaku, adat istiadat, bentuk fisik rumah, upacara adat, alat-alat rumah tangga, dan lainnya.
Kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang berarti mengolah atau yang mengerjakan sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan, sistem ide, atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, dalam kehidupan sehari-hari, yang sifatnya abstrak.
Menurut Koentjaraningrat (1985), kerangka kebudayaan adalah dimensi analisis konsep kebudayaan yang dikombinasikan ke dalam suatu bagan lingkaran untuk menunjukkan bahwa kebudayaan bersifat dinamis. Kerangka kebudayaan ini digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Budaya
Dari gambar di atas, lingkaran paling dalam adalah Sistem Budaya, lingkaran kedua adalah Sistem Sosial sedangkan lingkaran paling luar adalah Kebudayaan Fisik. Setiap lingkaran dapat dibagi menjadi tujuh (7) unsur kebudayaan universal (berdasarkan konsep Malinowski), yaitu : (1) Kesenian, (2) Religi, (3) Sistem Pengetahuan, (4) Organisasi Sosial, (5) Sistem Ekonomi, (6) Sistem Teknologi, (7) Bahasa.
           2. Budaya Lokal Tallu- Si
Keanekaragaman budaya di Indonesia melahirkan berbagai kearifan lokal bagi tiap daerah. Keanekaragaman budaya merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah.  Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab setiap individu untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal masing-masing daerah.
Seperti halnya budaya lokal Tallu-Si yaitu Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi merupakan salah satu budaya yang ada di suku bugis Sulawesi Selatan yang sangat memanusiakan manusia.
Budaya Sipakatau dapat diartikan sebagai memanusiakan manusia. Sipakatau merupakan salah satu pesan orang-orang terdahulu di suku Bugis-Makassar yang perlu dijadikan pegangan hidup. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah kitab yang menyatakan bahwa upasekko makkatenning ri limae akkatenningeng; mammulanna, ri ada tongeng’e; maduanna, ri lempu’e; matellunna, ri getteng’e; maeppana, sipakatau’e; malimanna, mappesona’e ri Dewae Seuwae.
Artinya yaitu saya pesankan kamu pada kelima pegangan : pertama, pada kata benar; kedua, pada kejujuran; ketiga, pada keteguhan hati; keempat pada saling menghargai atau saling memanusiakan; kelima, berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Mallombasi, 2012 : 167 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017 : 33).
Budaya ini menghendaki setiap individu memperlakukan siapapun sebagai manusia seutuhnya. Konsep ini memandang manusia dengan segala penghargaannya tanpa memandang kondisi sosial ataupun fisiknya. Nilai-nilai sipakatau menunjukkan bahwa budaya Bugis-Makassar memposisi-kan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik.
Semangat ini mendorong tumbuhnya sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan inter-subyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama manusia. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi landasan utama dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama manusia serta rasa saling menghormati terhadap keberadaan dan jati diri bagi setiap anggota kelompok masyarakat (Syarif, dkk, 2016 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017 : 34).
Budaya Sipakainge hadir sebagai penuntun bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan satu sama lain. Selain itu, sipakainge, ini diperlukan dalam kehidupan untuk memberikan masukan baik berupa kritik dan saran satu sama lain. Mengingat manusia tidak terlepas dari kekhilafan  dan dosa sehingga sebagai manusia yang hidup dalam struktur masyarakat diharapkan saling mengingatkan ketika melakukan tindakan yang di luar norma dan etika yang ada.
Terkhusus bagi remaja millenial saat ini, perlu diberikan orientasi tentang penyalahgunaan narkotika. Pemerintah Daerah perlu bekerja sama dengan BNNP, Kepolisian dan Sekolah untuk menanggulangi peredaran narkotika yang kian meningkat melalui pencegahan, rehabilitasi, dan pemberantasan narkotika. Inilah cerminan budaya sipakainge untuk saling mengingatkan.
Pentingnya budaya sipakainge  bagi masyarakat Bugis tertuang dalam salah satu pappasenna to riolo e artinya pesan orang terdahulu mengenai penyebab kehancuran suatu negeri.
Pesan tersebut menyatakan bahwa maduanna, mabbicara tenriamparanni Arung Mangkau’e, yang artinya kedua, jika Raja yang bertahta sudah tidak mau lagi diingatkan maka tunggulah kehancuran pada suatu negeri.
Budaya sipakalebbi identik dengan puji-pujian, yang berarti sesama manusia senantiasa saling memuji satu sama lain dan saling menghargai demi menjaga keharmonisan kehidupan sehari-hari. Mengakui kelebihan orang lain serta kekurangan diri sendiri, dan menerima semua keadaan itu dengan hati yang terbuka serta saling menutupi kekurangan masing-masing atau saling bahu membahu dalam segala kegiatan merupakan bentuk penghargaan terhadap satu sama lain (Razak, 2015 dalam Meutiah Rahmatullah, 2017 : 36).
Sipakalebbi dapat menuntun siswa dalam mengapresiasi diri untuk berkarya dan berinovasi melalui kegiatan di sekolah dan luar sekolah yang berdampak positif seperti lomba dalam bidang keagamaan, lomba dalam bidang literasi, dan lomba dalam bidang olahraga. Sekolah wajib memberikan apresiasi melalui dukungan dan reward terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa.
           3. Narkotika
a. Latar Belakang dan Tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini merupakan ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Badan Narkotika Nasional dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Penyebaran narkotika dan obat-obat terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Kejahatan narkotika bukanlah lagi dipandang sebagai kejahatan biasa melainkan sudah merupakan sebuah kejahatan luar biasa. Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obatan terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan atau regulasi tentang narkotika.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berperan melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika.

b. Pengertian dan Penggolongan Narkotika
Narkotika adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan cara memasukkan obat tersebut ke dalam tubuhnya, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit rangsangan, semangat dan halusinasi. Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang menyebabkan kelompok masyarakat terutama dikalangan remaja ingin menggunakan narkotika meskipun tidak menderita apa-apa. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan narkotika (obat). Bahayanya bila menggunakan narkotika bila tidak sesuai dengan peraturan adalah adanya adiksi/ketergantungan obat (ketagihan).
Narkotika merupakan salah satu masalah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah karena masalah narkotika sudah merupakan masalah yang berat di Indonesia. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat  menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dijelaskan ada tiga (3) golongan narkotika, yaitu : 1) Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2) Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3) Golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
c. Faktor Penyebab Remaja Menggunakan Narkotika
Menurut Dang Hawari (2005 : 57 dalam Akmal Hawi : 105) faktor penyebab remaja menggunakan narkotika adalah faktor lingkungan yang tidak berperan dengan baik, meliputi lingkungan keluarga yang tidak sehat, kondisi sekolah yang tidak baik, dan kondisi masyarakat lingkungan sosial yang rawan :  
a. Lingkungan Keluarga, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan         
    lingkungan pertama dan utama bagi setiap remaja, sejak ia lahir sampai dengan 
    datangnya masa ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. 
    Sebagai lingkungan primer, hubungan manusia yang paling intensif dan paling  
    awal  terjadi adalah di lingkungan keluarga.
     Fungsi dan peran keluarga menjadi sangat dominan dalam membangun hubungan antar anggota keluarga, terutama antara orang tua dan remaja serta anggota keluarga lainnya. Kesalahan dan kegagalan orang tua dalam memainkan peran sebagai tokoh sentral di lingkungan keluarga, dapat menimbulkan ketidakharmonisan pola hubungan dalam pergaulan atau anggota keluarga, sehingga berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku negatif dalam diri remaja, seperti pemakaian narkotika.
b. Lingkungan Sekolah, adalah lembaga lingkungan pendidikan yang sekunder. Sekolah memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan jiwa dan perilaku remaja setelah keluarga. Sekolah diharapkan dapat menjadi tempat membina para remaja, dengan memberikan norma-norma dan nilai-nilai yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, banyak fungsi sekolah yang tidak dilaksanakan, terutama peran guru dalam memberikan proses belajar mengajar yang dianggap belum memuaskan apa yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat.
c.  Lingkungan Masyarakat, merupakan lingkungan ketiga yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan dalam berkegiatan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi dan komunikasi. Pengaruh dan penyebaran budaya dari satu wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat dan diikuti oleh banyak orang contohnya saja seperti sekarang dunia remaja disibukkan dengan game online. Masyarakat dalam kondisi seperti ini sangat mempengaruhi perilaku remaja.
     Jadi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah lingkungan masyarakatnya. Jika lingkungan masyarakat sehat dan beradab dapat mempengaruhi perilaku positif dikalangan remaja. Begitupula dengan lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat, akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan remaja. Sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Contohnya kegiatan remaja masjid.
B.   LAPORAN YANG RELEVAN
1          1. Penelitian dari Nur Maida, (2016). “Pengasuhan Anak Dan Budaya 3S 
                (Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi) Di Perkotaan”. Penelitian ini bertujuan       
                untuk mengetahui dampak globalisasi yang sangat berpengaruh khususnya kepada 
                anak-anak, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif globalisasi 
                yaitu perkembangan teknologi yang semakin modern dan canggih sehingga 
                mempermudah seseorang untuk memperoleh informasi yang tidak terbatas yang 
                dapat mengubah nilai dan pola hidup seseorang, termasuk sikap orang tua terhadap 
                anaknya dan pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak.
           Sedangkan globalisasi yang berdampak negatif menonjolkan sifat individualistik dan  
           bebas. Hal itu dibuktikan dengan semakin marak, mudah dan banyak muncul 
           masalah, seperti penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, perilaku seks bebas 
           dan menyimpang, kriminalitas anak dsb. Hal itu disebabkan di perkotaan sikap dan 
           nilai-nilai kearifan lokal yang kurang diterapkan dalam keluarga.
2          2. Penelitian dari Sabrun Jamil, (2017). “Peran Keuchik Dalam Mencegah 
                Penyalahagunaan Narkoba Di Kalangan Remaja”. Penelitian ini bertujuan untuk 
                mengetahui peran Keuchik di gampong Labuhan Haji Barat dalam mengambil 
                langkah untuk mencegah penyalahgunaan narkoba pada kalangan remaja. Keuchik 
                memiliki tugas dalam menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam 
                membangun gampong, seperti membuat program yang dapat melibatkan 
                masyarakat, orang tua dan remaja dan bekerja sama dengan pemerintah dalam 
                mencegah narkoba.

C.   KERANGKA PEMIKIRAN

       1. Alur Berpikir


Gambar 2. Kerangka Pemikiran

2           2. Deskripsi Kerangka Berpikir
Hubungan manusia yang paling intensif dan paling utama adalah di lingkungan   
keluarga sekaligus sebagai motivator dan perisai anak dalam berhubungan dengan 
dunia luar. Perhatian keluarga akan berdampak pada psikologis anak, pembentukan 
karakter/perilaku anak, serta bagaimana anak bersosialisasi dengan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri kemajuan globalisasi merubah semua sektor termasuk 
pendidikan dan bahkan mengikis nilai-nilai budaya lokal yang berdampak positif dan 
negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah peredaran narkotika.
Untuk mengatasi persoalan urgen di atas, maka orang tua, guru, masyarakat dan 
pemerintah harus memiliki sikap tegas dan cepat dalam mencegah peredaran 
narkotika. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan 
memperkuat nilai-nilai budaya lokal Tallu-Si yang dapat diimplementasikan dalam 
kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan untuk melestarikan nilai-
nilai budaya lokal dan memperkuat pondasi agama yang dapat mencegah 
penyalahgunaan narkotika.

D.   HIPOTESIS DAN SOLUSI
            1. Hipotesis 
                
                Berdasarkan kajian terhadap beragam referensi, maka dapat ditarik hipotesis    
                sebagai berikut : “Eksistensi Budaya Lokal Tallu-Si (Sipakatau, Sipakainge 
                dan Sipakalebbi) dapat mencegah penyalahgunaan narkotika di SMAN 9 PANGKEP 
                dengan memperkuat pondasi agama dan nilai-nilai budaya lokal”.
             2. Solusi Masalah
      Berdasarkan deskripsi di atas, yang menjadi permasalahan utama dalam 
      penyalahgunaan narkotika adalah kurangnya kepedulian keluarga terhadap nilai-
      nilai agama dan budaya lokal dalam pembentukan karakter anak sejak kecil 
      sehingga anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sekolah dan lingkungan 
      masyarakat tanpa adanya pondasi agama dan nilai-nilai budaya yang kuat. Maka 
      solusinya adalah mengimplementasikan nilai-nilai agama dan budaya lokal Tallu-Si 
      melalui kegiatan pembelajaran dan budaya sekolah dengan tujuan dapat mencegah 
      penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja atau siswa saat ini terutama di 
      SMAN 9 PANGKEP.  

BAB III
PEMBAHASAN

A. Implementasi Metode Kegiatan Budaya Lokal Tallu-Si Dalam  Mencegah 
     Penyalahgunaan Narkotika
1.   Pengenalan Budaya Lokal Tallu-Si
Ditinjau dari asal katanya, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang berarti mengolah atau mengerjakan sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan, sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, dalam kehidupan sehari-hari yang sifatnya abstrak.
Sedangkan perwujudan lain dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (PDSPK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016).
Salah satu hasil cipta, karsa, dan rasa mausia adalah budaya lokal yang dapat menuntun manusia dalam berperilaku positif dalam kehidupan sehari-hari. Yang memiliki nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup masyarakat utamanya generasi digital native yang dipengaruhi oleh teknologi digital yang telah mengikis budaya lokal.
Hal inilah yang mendasari penulis sekaligus sebagai guru yang memiliki tanggung jawab untuk mengenalkan dan mengimplementasikan budaya lokal kepada siswa dalam lingkungan sekolah. Penulis menyadari dengan melihat tingkah laku siswa sehari-hari di sekolah seperti : (1) merokok, (2) bolos sekolah, (3) kurang menghargai dan menghormati guru dan teman sebayanya, (4) kurangnya motivasi belajar/malas (5) siswa kurang kreatif dan inovatif dalam mengerjakan tugas, (6) tidak percaya diri/tidak optimis, (7) kurang peduli terhadap sesama teman/tidak memiliki etos kerja, (8) kompetisi yang tidak sehat.
Merokok merupakan bagian dari narkotika secara tidak langsung. Ketika siswa sudah akrab dengan rokok maka sangat mudah untuk mengenal benda-benda terlarang lainnya didukung dengan kurangnya kepedulian keluarga terhadap perkembangan karakter anak sehingga memberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang tidak sehat.
Salah satu budaya lokal yang dapat membantu siswa mengenal norma-norma dan nilai-nilai budaya sekaligus menjadi pedoman berperilaku dalam masyarakat adalah budaya lokal Tallu-Si. Istilah ini diciptakan sendiri oleh penulis dimana Tallu dalam Bahasa Indonesia berarti tiga sedangkan Si merupakan awalan kata Sipakatau, Sipakainge dan Sipakalebbi.
Dalam adat bugis Sulawesi Selatan (1) sipakatau berarti saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling membagi, saling memberi, dimana dalam lingkup sekolah dapat diimplementasikan melalui sikap menghargai pemberian Allah SWT berupa akal dan pikiran sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, saling menghargai antara guru dengan semua stakeholder, antara guru dengan siswa, dan antara siswa dengan temannya.
Dalam proses pembelajaran, guru dapat mengimplementasikan sipakatau kepada siswa untuk menghargai pemberian Allah SWT dengan menghargai dirinya sendiri melalui tindakan seperti tidak merokok yang dapat merusak kesehatan dan menghabiskan biaya orang tua, menggunakan akal dan pikiran untuk mengerjakan tugas yang kreatif, tidak menyontek, tidak bolos sekolah karena bolos memberi peluang untuk menciptakan lingkungan baru dengan orang luar yang bisa menimbulkan hal negatif seperti pengenalan narkotika.
Menghargai seluruh jasmani dan rohani yang telah diciptakan untuknya sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk lainnya berupa kegiatan yang positif seperti hidup sehat dengan menghindari rokok, narkotika dan obat-obat terlarang, mengikuti berbagai lomba baik di sekolah maupun di luar sekolah, menjadi tim olahraga yang disukai di sekolah, mengikuti kegiatan Pramuka, PMR, Siswa Pencinta Alam.
Dimana ekskul ini memberikan aktualisasi nyata kehidupan bersosial yang baik, membentuk karakter siswa yang pemberani, kreatif dan bertanggung jawab. Sehingga budaya sipakatau yaitu saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling membagi, dan saling memberi dapat tercipta di lingkungan sekolah.
Sipakainge berarti saling mengingatkan. Sebagai pendidik, guru wajib mengingatkan siswa disetiap awal pembelajaran akan norma-norma agama, adat istiadat, nilai-nilai budaya, utamanya sikap dan toleransi dalam bergaul dan berbagai nilai karakter dimana hal ini akan bermuara pada etika siswa dalam berbahasa, bersikap dan bertindak baik dalam lingkungan sekolah, keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
Berkaitan dengan implementasi budaya sipakainge di sekolah, dapat dilakukan melalui pembiasaan atau diterapkan dalam aturan sekolah seperti shalat dhuha sebelum pelajaran dimulai, literasi agama seperti berdoa atau membaca surah-surah pendek 15 menit sebelum pelajaran dimulai, dan literasi baca tulis. Setiap siswa wajib memiliki satu (1) buku non mata pelajaran seperti buku tentang budaya lokal Sulawesi Selatan, buku sejarah suku bugis dsb.
Sipakalebbi berarti saling menghormati. Defenisi menghormati dalam lingkup sekolah bukan berarti harus takut kepada guru, tapi sangat penting diterapkan kepada siswa bahwa dalam tata krama “yang muda menghormati yang tua sedangkan yang tua menyayangi yang muda”. Rasa hormat terhadap sesama akan melahirkan motivasi menjadi orang yang lebih baik, dan memiliki banyak teman dalam lingkungan yang positif, sehingga siswa dapat menghindari berkenalan dengan pemakai narkotika dan obat-obat terlarang lainnya.
Ketiga nilai-nilai budaya lokal ini wajib dimiliki oleh setiap manusia terkhususnya oleh guru dan siswa di SMAN 9 PANGKEP yang merupakan tokoh utama dalam pembelajaran di sekolah. Guru wajib menanamkan budaya Tallu – Si dalam pembelajaran dan budaya sekolah untuk mewujudkan generasi emas Indonesia yang berakhlak mulia, beretika dan berbudaya untuk menjadi benteng dan dalam menjauhi penyalahgunaan narkotika. 
     2.   Mengawali Pembelajaran Dengan Literasi Agama dan Literasi Baca Tulis
Nilai-nilai budaya lokal sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi dapat juga di implementasikan melalui budaya sekolah. Kegiatan dapat berupa mengawali kegiatan pembelajaran dengan literasi agama berupa shalat dhuha kemudian di dalam kelas membaca surah-surah pendek 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Kegiatan literasi agama dapat diganti dengan literasi baca tulis. Siswa wajib memiliki satu (1) buku non mata pelajaran, buku ini dapat berupa budaya suku bugis, sejarah suku bugis dan buku fiksi lainnya yang bermanfaat bagi siswa.
Di SMAN 9 PANGKEP kegiatan shalat dhuha sudah dilaksnaakan sejak lama begitu pula dengan kegiatan literasi lainnya. Bagi penulis sendiri walaupun background penulis adalah guru geografi tapi sejak dulu membiasakan siswa memiliki satu (1) buku non mata pelajaran yang dibaca 15 menit setiap mengawali pelajaran. Siswa yang paling banyak menamatkan buku bacaannya akan mendapatkan reward dari guru.




Gambar 3. Kegiatan Literasi Di Kelas
Kegiatan ini mampu mengubah mindset siswa yang dulunya malas membaca, sekarang mampu membiasakan diri membaca buku. Penulis menyadari bahwa literasi baca tulis masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut data UNESCO, negara Indonesia tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanyalah 0,001 yang berarti dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti diantara 250 juta penduuduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya ,minat baca. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88,1 juta pada tahun 2014 (www.femina.co.id/trendingtopic).
Kegiatan shalat dhuha, shalat lima waktu dan kegiatan literasi baca tulis dapat membentengi siswa dari penyalahgunaan narkotika dan pengaruh negatif lainnya karena siswa memiliki pondasi agama yang kuat. Siswa yang memiliki pondasi agama yang kuat semaksimal mungkin menghindari pengaruh negatif yang akan merusak dirinya dan akan mencerminkan nilai-nilai budaya Tallu – Si yaitu sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi.
Setiap siswa yang terlahir memiliki kecerdasan, yang perlu diubah oleh guru adalah mindsetnya. Siswa memiliki karakter yang berbeda dan pengaruh lingkungan keluarga yang paling utama dapat membentuk karakter siswa apakah lebih baik atau sebaliknya. Pengaruh lingkungan keluarga dapat membantu siswa menghindari narkotika dan segala pengaruh negatif yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
     3.   Pemutaran Video Pembelajaran Tentang Narkotika
Kecakapan pembelajaran abad 21 mengutamakan kemajuan teknologi informasi yang telah mengubah gaya hidup manusia, baik dalam bekerja, bersosialisasi, bermain maupun belajar. Memasuki abad 21 kemajuan teknologi tersebut telah memasuki berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Guru dan siswa dituntut memiliki kemampuan belajar mengajar di abad 21.
Dalam kegiatan pembelajaran guru harus mampu menerapkan teknologi salah satunya adalah video pembelajaran. Berkaitan dengan pencegahan penyalahgunaan narkotika dikalangan remaja atau siswa, guru dapat menerapkan video pembelajaran tentang narkotika di kelas atau pada saat PPDB. Video pembelajaran dapat diunduh di youtube yang merupakan bagian dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Metode pembelajaran yang sesuai adalah diskusi, guru dapat merancang bentuk kegiatannya apakah dalam bentuk diskusi kelompok ataupun individu. Video pembelajaran tentang narkotika dapat merangsang siswa berpikir kritis, meningkatkan motivasi belajar, kreatif dan bertanggung jawab. Yang semuanya merupakan cerminan dari menghargai diri sendiri, menghargai akal dan pikiran yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Hal ini adalah implementasi nilai-nilai budaya sipakatau.
     4. Studi Tour atau Kunjungan Ke Kantor Polisi dan Lembaga Rehabilitasi 
         Pecandu Narkotika
Untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dengan baik, guru perlu mengaitkan materi dengan pengalaman siswa. Siswa juga perlu diberi kesempatan untuk bisa memecahkan masalah, sehingga guru hanya perlu memonitoring sebagai pembimbing dan fasilitator. Guru tidak hanya menyampaikan materi secara lisan tanpa suatu aplikasi atau harus sesuai dengan kehidupan nyata.
Guru mengoptimalkan kemampuan berpikir siswa dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dalam pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran realisme yang akan terbentuk. Dan pembelajaran realisme tidak hanya di dalam kelas akan tetapi dapat dilaksanakan di alam bebas untuk menghindari perasaan bosan dan jenuh siswa yang dapat mengurangi motivasi belajarnya.
Salah satu metode yang dapat diimplementasikan oleh guru adalah metode proyek studi tour atau kunjungan. Berkaitan dengan narkotika, guru dapat membuat proposal studi tour atau kunjungan ke kantor polisi dan lembaga rehabiltasi penyalahgunaan narkotika. Siswa ditugaskan secara berkelompok untuk mendapatkan data tentang penyalahgunaan narkotika.
Pembelajaran di luar kelas atau outdoor learning meningkatkan kapasitas belajar siswa. Belajar secara mendalam tentang objek-objek di luar kelas, belajar tentang memahami kondisi orang lain yang terjerumus narkotika adalah bagian dari nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge yang dapat membangun keterampilan sosial siswa.
Kegiatan pembelajaran outdoor learning dapat meningkatkan sikap saling menghormati, saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling membagi, dan saling memberi serta tidak menjauhi orang lain yang terdampak penyalahgunaan narkotika akan tetapi membantu memberikan motivasi dalam menghadapi masalah dan menanamkan kesabaran.  
B.  Faktor Positif Budaya Lokal Tallu – Si Dapat Mencegah Penyalahgunaan Narkotika
Globalisasi merupakan fenomena khusus dalam kehidupan manusia dimana teknologi informasi dan komunikasi adalah pelaku utama yang mempengaruhi sektor ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan terutama mengikis nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu orang tua dan guru harus memiliki senjata kuat dalam membendung arus globalisasi. Salah satu masalah besar dalam era globalisasi adalah penyalahgunaan narkotika.
Senjata atau alat yang dapat digunakan orang tua dan guru tentu harus dimulai dari implementasi nilai-nilai budaya lokal yang memiliki dampak positif untuk menjadi pondasi kuat dalam melawan arus globalisasi utamanya penyalahgunaan narkotika. Beberapa faktor positif budaya lokal Tallu –Si  yaitu :
(1) Memandang manusia selayaknya manusia. Artinya dalam kehidupan sosial kita   selayaknya memandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Pembelajaran yang dapat dipetik bahwa dalam kehidupan sehari-hari seharusnya dalam lingkungan sekolah dan masyarakat kita saling menghormati sesama manusia tanpa melihat miskin atau kaya.
(2) Dapat membentuk kecintaan terhadap budaya nusantara utamanya budaya lokal  yang menjadi cerminan perilaku atau tindakan dalam kehidupan sehari-hari;
(3) Sebagai pembekalan diri untuk tidak meninggalkan unsur budaya yang ada di    Indonesia karena pengaruh teknologi dan informasi sangat cepat mempengaruhi semua sektor;
(4) Membentuk kesadaran untuk mencintai sesama manusia walaupun memiliki       perbedaan agama, suku dan bahasa;
(5) Menuntun siswa untuk bertutur kata dan berperilaku yang baik, tanpa melihat      background orang lain apakah orang tersebut pelaku kriminal, penyalahgunaan narkotika, dll.
Penyalahgunaan narkotika juga lahir dari budaya, yaitu budaya atau kebiasaan yang negatif. Melalui budaya manusia membentuk kebiasaan, sehingga untuk membentuk budaya yang baik tentunya manusia harus membiasakan diri dengan budaya yang positif. Untuk mencegah penyalahgunaan narkotika, budaya Tallu – Si memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari baik untuk remaja/siswa ataupun orang dewasa karena bahaya narkotika tidak mengenal usia.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A.   Simpulan
Keanekaragaman budaya merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah.  Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Budaya Tallu – Si yaitu sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi adalah pedoman hidup sehari-hari bagi masyarakat suku bugis di Sulawesi Selatan. Budaya sipakatau mengajarkan untuk saling menghargai, saling menopang, saling mengayomi, saling menuntun, saling membagi, saling memberi. Budaya sipakainge mengajarkan untuk saling mengingatkan dan budaya sipakalebbi mengajarkan untuk saling menghormati sesama manusia tanpa memandang suku, agama dan bahasa.
Implementasi nilai-nilai budaya lokal merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai guru pertama dan utama kepada anak sejak masih kecil. Sehingga anak tumbuh sejalan dengan pembentukan karakter yang baik. Karakter yang baik sejak kecil akan membentuk pribadi yang kuat, bertanggung jawab sehingga mampu menghindari lingkungan yang negatif utamanya penyalahgunaan narkotika yang menjadi pembunuh utama dunia remaja.
Siswa adalah generasi muda harapan bangsa, generasi Z pengguna aktif teknologi digital, yang mudah terpengaruh globalisasi oleh karena itu, guru sebagai motivator, katalisator, dan fasilitator harus mampu menjadi penjaga gawang, membantu siswa untuk mampu menyaring pengaruh negatif. Dan salah satu yang dapat mmbantu guru dalam menyaring pengaruh negatif adalah budaya lokal Tallu-Si yaitu sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi.
B.   Saran
Pencegahan penyalahgunaan narkotika adalah tugas dan tanggung jawab masyarakat Indonesia yang dimulai dari lingkungan keluarga sebagai pondasi utama yang harus kuat, kemudian lingkungan sekolah sebagai penyaring pengaruh negatif sehingga perlu adanya kegiatan Pemerintah Daerah untuk mengeksplore budaya lokal utamanya yang berkaitan dengan perilaku sehari-hari.
Adanya kerjasama semua pihak yaitu Pemerintah Daerah, Badan Penanggulangan Narkotika, Kepolisian dan Sekolah untuk mencegah peredaran dan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja.
  

DAFTAR PUSTAKA
Akmal Hawi. 2018. Remaja Pecandu Narkotika (Studi Tentang Rehabilitasi Integratif Di Panti Rehabilitasi Narkoba Pondok Pesantren Ar-Rahman Palembang). Jurnal.

Dokhi, Muhammad dkk. 2016. Analisis Kearifan Lokal Ditinjau Dari Keragaman Budaya. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud.

Meutiah Rahmatullah Made. 2017. Internalisasi Budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, Dan Pammali Pada Kegiatan Operasional Perusahaan Dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Sistem Pengendalian Internal (Studi Pada PT. Hadji Kalla). Skripsi. Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar.

Nurmaida. 2016. Pengasuhan Anak Dan Budaya 3S (Sipakatau, Sipakainge, Dan Sipkalebbi) Di Perkotaan. Skripsi. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.

Sabrun Jamil. 2017. Peran Keuchik Dalam Mencegah Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja. Skripsi. Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

Sri Suneki. 2012. Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah. Jurnal.

Yashinta Winda Afriatini. 2013. Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Penanggulangan Peredaran Gelap Narkotika Di Yogyakarta. Jurnal.















Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ARTIKEL NARKOBA TAHUN 2019"

Posting Komentar